Menari Di Ujung Pisau

Kemerlip lampu mewah di ruangan ini sangat benderang, membuatku bermandikan cahaya. Duduk dengan anggun di tengah-tengah keluarga yang tampak sempurna memaksaku harus menahan mual yang harusnya sudah aku muntahkan sejak satu jam yang lalu.

Kepalaku bergoyang, menyulap warna terang menjadi kembang api. Seakan sebentar lagi berubah lagi menjadi bom yang memecah isinya. Aku sebenarnya haus, namun segelas ‘wine’ di atas meja tidak menawarkan pesona di mataku. Baunya tampak akrab di hidungku, menyengat menyerupai besi.

Pun hasrat ingin minum luntur karna dadaku juga sangat sesak, gaun merah yang berkilau ini menjepit paru-paruku. Rambut yang biasanya ku sanggul harus ku gerai dengan rapi, bibirku yang tadinya berwarna lebam kini dipoles gincu merah cabai. Wajahku tampak tegas setelah di make over habis-habisan. Kalaulah saja aku seorang aktris, mungkin cocok berperan sebagai Maleficent versi Indonesia.

Aku duduk tegap, senyum ditahan dengan tatapan tajam. Harus! ini kewajiban yang sangat aku benci saat berkumpul makan malam yang diadakan Paman setahun sekali.