Banda Aceh – Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAk) Aceh, Askhalani, mengungkapkan kecurigaan terhadap tebang pilih dalam proses penetapan tersangka kasus korupsi beasiswa Pemerintah Aceh tahun 2017.
Askhalani mencatat bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) seharusnya bertanggung jawab atas skandal ini karena telah mengusulkan penerima beasiswa.
Namun, hingga saat ini, hanya dua orang yang dijadikan tersangka, yakni DS dari DPRA periode 2014-2019 dan S selaku koordinator penyaluran beasiswa.
“Dari bukti-bukti yang kami peroleh, anggota DPRA yang paling banyak mengusulkan juga paling banyak memotong melalui koordinatornya,” ungkap Askhalani dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Komonitas Sadar & Taat Hukum (KosTum).
Askhalani menyoroti bahwa proses hukum cenderung menargetkan pelaku lapangan atau koordinator yang mungkin hanya menjalankan perintah, sementara penyelenggara negara yang berwenang dan diduga menerima aliran uang tidak pernah disentuh pasal gratifikasi.
“Saya yakin ada yang dilindungi dan ada yang dikorbankan dalam model tebang pilih seperti ini,” tegasnya.
Menurut Askhalani, koordinator lapangan tidak mungkin melakukan pemotongan beasiswa tanpa arahan dari anggota DPRA yang memiliki jabatan dan wewenang.
GeRAk Aceh telah mengirim surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta supervisi terhadap penanganan kasus ini.
Mereka menegaskan perlunya memeriksa ulang penetapan 9 orang tersangka yang saat ini dijadikan fokus penyidikan, serta menyoroti tanggung jawab 21 anggota DPRA yang ikut serta dalam usulan penerima beasiswa.
“Kami meminta KPK untuk bersikap profesional dan meninjau kembali apakah penetapan tersangka tersebut sesuai dengan fakta yang ada,” papar Askhalani.
GeRAk Aceh berkomitmen untuk terus mengawal perkembangan kasus ini dan menuntut transparansi serta keadilan dalam penegakan hukum terkait korupsi di Aceh.
Berita ini mengacu pada pernyataan dan upaya GeRAk Aceh dalam mengungkap dugaan tebang pilih dalam kasus korupsi beasiswa di Aceh, serta permintaan mereka kepada KPK untuk melakukan supervisi terhadap penanganan kasus.