Bsnda Aceh – Menandai rangkaian tur studium generale ke 11 universitas di seluruh Indonesia, Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, hari ini menyampaikan kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (5/9/2024).
Ini merupakan bagian dari upaya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk membahas isu-isu strategis terkait amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dalam kuliah umumnya, Hilmar Farid menyoroti pentingnya Pemajuan Kebudayaan di Provinsi Aceh. Ia menekankan bahwa Aceh memiliki kekayaan budaya dan keanekaragaman bio kultural yang luar biasa, seperti ekosistem Leuser, Ulu Masen, dan mangrove yang terhubung erat dengan budaya lokal.
“Pengetahuan tentang alam yang bersumber dari interaksi masyarakat dengan ekosistem ini adalah bagian inti dari kebudayaan,” ujar Hilmar.
Hilmar juga menekankan pentingnya menjaga ketahanan budaya agar tetap relevan di tengah perubahan global.
“Jika kita mampu mengelola kekayaan biokultural dengan baik, budaya kita akan tetap kuat dan tidak tergerus oleh budaya asing,” ungkapnya.
Isu mendesak lainnya adalah kebutuhan pembukaan program pendidikan tinggi di bidang Arkeologi, Epigrafi, Antropologi, Film dan Televisi, serta Tata Kelola Seni, yang saat ini belum tersedia di Aceh.
“Pendidikan tinggi dalam bidang kebudayaan di Aceh bukan hanya kebutuhan, tetapi juga menjadi landasan penting agar dapat memanfaatkan biokultural masa depan,”katanya.
Pada kesempatan tersebut, Hilmar menekankan pentingnya sinergi transdisipliner yakni kolaborasi multi aktor seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat, Dewan Kesenian, dan Dewan Kebudayaan dalam merumuskan kebijakan budaya yang komprehensif di Aceh.
“Partisipasi publik juga ditekankan, dengan ajakan kepada masyarakat Aceh untuk lebih aktif terlibat dalam inisiatif-inisiatif seni dan budaya, termasuk pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya,” ucapnya.
Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Marwan, dalam sambutannya, memberikan kata pengantar yang menggarisbawahi pentingnya sinergi antara lembaga seperti perguruan tinggi dan pemerintah dalam Pemajuan Kebudayaan.
“Universitas Syiah Kuala terus berupaya untuk tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan riset tetapi juga pusat kebudayaan yang berkontribusi pada pelestarian dan pembangunan budaya. Harapannya agar para generasi muda tidak hanya mengenal kebudayaan tetapi memiliki komitmen untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan,” ujar Prof. Marwan.
Kuliah umum ini diharapkan dapat menjadi pemicu lahirnya inisiatif-inisiatif baru dalam pemajuan kebudayaan, terutama di Provinsi Aceh, serta memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa.
Kuliah umum ini dihadiri 1000 peserta yang terdiri dari birokrat, akademisi, mahasiswa, budayawan, seniman, pelaku budaya, pegiat literasi, perwakilan dari 30 Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), juga instansi yang membidangi kebudayaan di kabupaten/kota se-Aceh serta perwakilan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Kemendikburistek.
Ke-1000 peserta ini adalah bagian dari Ekosistem Kebudayaan yang akan mempercepat akselerasi gerakan Pemajuan Kebudayaan Indonesia. Selain itu, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I bekerjasama dengan Universitas Syiah Kuala dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh juga menyiapkan agenda lain yaitu dialog bersama komunitas budaya Aceh yang dikemas dalam acara Meuramin Peumulia Jamee yang dilaksanakan pada tanggal 4 September 2024 yang secara spesifik dapat mendorong lahirnya program-program strategis yang dapat mengantarkan pelaku budaya semakin mandiri dan mendukung pemerintah dalam pembangunan kebudayaan.[]